Minggu, 17 November 2013

Tentang Al Ghazali

Tadi ada status dari Yoga, ia seorang pencinta alam yangmasuk keanggotaan dari Mahapeka, itu sejenis organisasi PA dari UIN Bandung,saya kenal dari teman dan berlanjut di dunia maya, dan menariknya ia membuat statusyang membuat menarik perhatian saya, dengan “sadar enggak, kenapa,” seolah menyodorkansaya tentang realitas efektifnya teori kelas, dan ternyata itu sangat diimanioleh Yoga, dengan menganggapnya maslahat.

Dan yang sempat terpikir ialah Al Ghazali, dan saya sadarisaya tak semuanya membaca tulisannya, namun ada yang menarik dari bukunya, meskipunbanyak sekali kontroversi tentang karyanya, tentang penyakit akidahlah, tentangkecurigaan ahli hadis bahwa buku Ihya Ullumuddin itu mempunyai kecacatanakidah, tentang filsafat yang dibawa ke ranah teknis ibadah agama, tentangkematiannya yang memegang buku Shahih Bukhary, tentang cara penafsirannya yanglebih menggunakan rasa ketimbang tekstual.

Ada yang menarik dari Al Ghazali, seorang yang berjenggot danmelakukan poligami dan banyaknya karya tentang agama, agama yang rahmatan lil alami.

Sedikit saja, dalam bab bersuci jika tak salah, iamenuliskan ketertarikannya tentang bab yang memulai dari semua ibadah yang jaditiang agama, dari tulisannya menunjukkan bahwa wudlu tak menunjukkanbukti-bukti fisik semata, tak semuanya praktek ibadah menunjukkan bukti fisiksemata.

Dalam menafsirkan wudlu, Al Ghazali menuliskan bahwa airhanya membersihkan fisik semata, namun ada yang lebih harus dibersihkanterlebih dahulu, membersihkan hatinya, menerima bahwa ibadah itu dengan keikhlasanmeskipun caranya seperti itu.

Penggambaran tentang wudlu ternyata mempunyai efek yangmenarik juga, tentang kategori air yang digunakan, tentang tata caranya, tentangshalatnya, dan yang menarik bagi saya ialah penggambaran bahwa air hanya bagiandari barang-barang di dunia yang dapat membersihkan fisik semata dan menerima ilmuialah yang menuntun bersihnya hati.

Seperti tidak masuk logikanya, seorang yang kentut harusberwudlu lagi, yang polusi itu keluar di pantat tapi yang dibasuh dari muluthingga kaki, bahkan makin tidak masuk akal ketika adanya keadaan darurat, denganterjadinya tayamum, yang kotor kaki tapi yang dibasuh muka dan tangan.

Jadi esensi bersuci tak hanya bersifat fisik semata, adanilai intrinsik lain dari satu benda dan cara.
Ada yang menarik juga melihat dari beberapa hujjah yangsering saya dengar di pengajian, alasan nabi mengusap muka sehabis shalat ialahkarena debu, dan itu menunjukkan bahwa daerah di sana banyak sekali debu, danitu menjadi alasan untuk menjaga terus kebersihan karena akan shalat, tapi yangjadi pertanyaan selanjutnya apakah kotor itu najis, sedang mereka yang menurutiajaran nabi apakah semuanya mempunyai alas kaki, baju yang menutupi seluruhauratnya, dan apakah agama menuntut itu semuanya sama sedang kemampuan setiaporang berbeda.

Dari situ saya mulai paham mengapa Al Ghazali menafsirkanwudlu hanya nilai fisik saja sedang ibadah itu fisik dan intrinsik, ada nilaiyang lebih dari sekedar gerakan-gerakan badan.

Dan bagaimana tentang teori kelas, sedari dulu mulai membacadas kapital, menerangkan bagaimana modal terus bertambah dengan cara-cara yanglebih praktis, namun tidak mensyaratkan saling ridho, dari mulai bab sewahingga bab reproduksi hanya menerangkan benda keduniawian saja dengan kata laincara para kapitalis bertambah kaya dan terus-terusan kaya sedang parapekerjanya 'dikondisikan' untuk melakukan proses ketergantungan.

Saya kira teori kelas dan semuanya tentang ekonomi sosialishanya akan memberikan jarak antara para kapitalis dengan para proletar, sehinggalupa bahwa dari kegiatan badan itu ada hati yang harus senantiasa bersih, takutnyaketika semua hal duniawi ini berakhir harta dan ilmunya hanya ‘kekotoran’ saja.

*diketik sembari senggang untuk Yoga, semoga bermanfaat darisemua kekurangannya semoga bisa menjadi lebih baik lagi.

Sebelum adha, sembari senggang

Sekarang sudah hampir jam dua malam, atau tepatnya lebihmenuju pagi, dengan jari yang sedikit kaku karena mungkin sudah beberapa haritidak menulis, mengetik, mencatat, dan mendokumentasikan betapa indahnya hidupini, dan mungkin beberapa bagian menjadi lebih indah jika disyukuri, sedangkanlain hal menjadi lebih buruk dari tidak tahu rasanya apa yang jadi esensi darikehidupan itu sendiri.

Tak ingin bicara tentang tuhan atau tentang takdir atau puntentang banyaknya jahitan yang akan saya kerjakan nanti pagi, atau pun beberapahal sentimentil yang telah saya langgar dengan saya sadari. Saya harus mulaiterbiasa dengan pelanggaran, melanggar nafsu saya, melanggar semua kebiasaanburuk saya dan mulai dengan hal yang lebih baik lagi.

Saya targetkan sedari idul Adhi esok saya akan mulai menuliscatatan harian lagi, ya hanya beberapa catatan saja, tak akan saya tuliskansemuanya, toh tulisan hanya beberapa bagian saja jika diketik, sedangkankejadian akan terus berlalu, dan mungkin lebih jauh meninggalkan dari katasejarah sesungguhnya.

Mulai mencatat hal yang sentimentil lagi, tentang cinta,tentang kasih sayang, tentang keindahan dan hal mungkin hal yang saya akanlupakan ketika saya senang dan ketika saya sedih, mungkin gunanya catatan ituketika kamu hilang kendali atas kesadaran kamu sendiri, hilang kendali gunanyakamu, atau mungkin jadi sadar bahwa kamu sudah cukup diingatkan dengan firmantuhan yang mungkin bagi sebagian orang hanya akan menjadi catatan kaki darisejumlah makalah dalam hidupnya.

Tadi siang ada kabar dari Ojan, bahwa Wicak akan menikahhari Minggu depan, sebuah tanggal yang bagus, angka yang kerap kali menjadiobrolan bapak saya karena menjadi nomor di sekolahnya tempat ia mengajar.

Rencananya dengan biaya 100an akan menyewa mobil dan menuju tempat kejadianperkara dengan bermobil ria di malam hari dan pulang malam hari juga, WicaksonoArif teman saya sudah punya sebagian tujuannya pulang rupanya.

Jika ia ada di sini saya akan katakan saya juga sudah punyasebagian tujuan hidup saya, ya mungkin kamu sedang membacanya, tak cukupratusan kata yang bisa saya ketik untuk kamu, mungkin semoga tidurmu nyenyakbisa menjadi katalisnya setiap malam, atau mungkin semoga harimu indah menjadidoa pengawal pagi untuk kamu, ya mungkin alasan saya nanti pulang pagi juga diantaranya rindu kamu.

Besok itu saya akan membeli bahan yang dipesan Anton dariteman di Super TV, entahlah saya juga mulai bingung, apakah pesanan ini nyataatau tidak, pesanan kemeja tangan panjang dengan kemiripan yang sangat denganbaju yang dulu dipesan teman.

Ada beberapa hal yang kadang membuat saya lebih bingung,dengan semua kenyataan ini, apakah ini mimpi atau bukan, kemarin saya sedang diBogor dengan malam yang aneh dengan suara musik dangdut yang menghentak, pagiyang cerah dengan semua keindahannya, dan dari semua yang indah itu bisabersama kamu.

dan sekarang pagi buta dengan heningnya, dengan dinginnya menyambut hari penyembelihan, penyembelihan hewan massal.


*diketik sembari senggang

Jika Ingin Tahu Saja

17 Agustus, tahun ini


Tangan saya telah dingin oleh udara Bandung hari ini, yahari senin yang cerah di Banjaran, berbeda dengan senin sebelumnya di Malang sana,entah diksi yang cocok untuk kata malang sebenarnya ataupun Malang dengan artisebuah kota di Jatim sana.

17 Agustus pagi ini jalanan di Banjaran telah lengang,seperti akan menyambut sesuatu dari arah Ciapus sana, ya saya berjalan kakisaja menyusuri jalanan Ciapus, jalanan sejauh satu kilo meter tepat terhitungdari penanda jarak di motor saya dulu ketika masih benar, jarak yang cukupuntuk prolog pagi itu, pagi yang akan mengawali perjalanan paling jauh darirumah untuk tahun ini saja.

Di tangan kiri saya plastik putih berisi air mineral danbeberapa cemilan kecil, di tangan kanan saya ada trashbag dan lembaran plastik yang tak sempat saya jadikan jashujan.

Jalanan tampak riuh dengan orang-orang yang menikmati tanggalkemerdekaan negaranya, tapi bagi saya kemerdekaan adalah ketika terbebas darikewajiban, ya kewajiban sebagai manusia yang tahu kewajibannya saja dengan katalain jika ilmunya belum memerdekakan manusia kemungkinan masih terjajah olehnafsunya.

Beragam atribut mulai dari menjadi bencong hingga hewanterpampang jelas di jalanan, mungkin itulah cara mereka menikmati tanggalkemerdekaannya, tapi berdandan menjadi lain kodratnya saya anggap merupakanpenjajahan terhadap dirinya sendiri.

Rumah saya sudah dekat dan para anak-anak tengah sibuk di sampingjalanan dengan berbagai ekspresi, mulai dari takut hingga biasa saja. Menikmatitontonan nyata di hari Minggu, mungkin lebih baik daripada menonton film dikotak elektronik sana.

Persiapan pun dimulai di pagi ini, pagi yang mengawali sayameninggalkan rumah, menuju atap pulau Jawa sana, menuju titik tertinggi daratanini, semoga tak ada halang rintang dalam perjalanan hari ini.


Memulai perjalanan


Hari ini tas pinjaman saya ari A Elfa telah siap, terlihatterisi penuh dengan berat yang melebihi biasanya, saya dapat bagian membawatenda trip kali itu, saya hanya bisa berusaha sebaik mungkin untuk tugas sayakali itu.

Setelah semua persiapan sudah siap, motor telah di depanpintu sana sudah siap mengantar saya menuju daerah yang tak saya kenali, Semerusemua orang panggil demikian, saya tak tahu arti dari kata tersebut, yang sayatahu puncaknya Mahameru, dengan keangkuhan sepertinya puncaknya dinamai, yangsaya tahu maha itu selain punya mahasiswa tapi batasan atas tafsiran sebuahnama, ya nama Tuhan kami.

Siang itu Kiara Condong telah saya pijaki, ya di depan stasiunsaya temukan Faisal dengan temannya Rizki, saya panggil dua huruf terakhirnyasaja.

Para teman sudah siap ternyata di stasiun sana, semua telahhadir. Azie, Dian, Adoy, Arie, Faisal dan Kiki, sedang Ratna rencananya akanbertemu di Malang sana.

Tiket telah saya pegang, saya masukan ke tas kecil saya,tentunya setelah diperiksa oleh petugas stasiun dan menunggu kereta datangseolah lama sekali, ada yang kurang di hari ini, suara seorang gadis cantik di handphone melengkapi awal perjalanansaya hari itu.


Di kereta.


Dalam hitungan jari saya masih terhitung jelasnya saya menaikikereta api, sepertinya beberapa kali entah 6 kali atau entah berapa pastinya,sepertinya kurang dari sepuluh namun untuk kali ini sepertinya rasanya lain,naik kereta lebih teratur dan lebih nyaman, namun dengan semua kelebihanmembuat saya harus membayar lebih, namun untuk itu saya jadi lebih bisabersyukur, karena kebetulan uangnya pun ada.

Ternyata di kereta ada restoran semampunya juga, ya semisalkopi dan mi instan bisa dengan cepat langsung dibuat, sedangkan nasi gorengbisa langsung disajikan dan tentunya menjadi pilihan yang menguntungkan jikasedang dalam perjalanan, karena kereta api tak bisa menunggumu walaupun hanyasekedar membeli sebatang rokok atau seonggok roti tawar.

Duduk lama sepertinya membuat waktu menjadi semakin manjasaja, seolah terus melekat dengan semua orang, sedang mereka yang di luarkereta tengah terdiam ataupun hanya melihat ketika kereta yang saya tumpangimemelesat dengan kecepatan tinggi, kami yang terbawa cepatnya kereta segerameninggalkan Bandung menuju Malang sana, sebuah kota yang terkenal denganapelnya, dengan universitasnya dengan kemiripannya dengan Bandung.

Saya, Dian, Arie duduk sebangku sedang Adoy dan Azie didepan kami yang sedang duduk, mereka ternyata duduk juga, dan ada satu orangsantri yang sekolah di entah saya lupa lagi bahkan saya lupa lagi namanya siapadan sekolah di mana yang saya ingat ia mengaku santri kelas dua aliyah, dan iatepat duduk di hadapan saya sedang tidur rupanya. Dan Faisal duduk di seberangsana, ia bersama rombongan ibu-ibu yang membawa anaknya, juga Kiki ia berbedagerbong dengan kami.

Menuju malam suasana makin tidak terkendali, terutama denganposisi tidur dan duduk yang berkurang kenyamanannya, mungkin karena Faisal ikutserta dalam posisi kami yang sengaja begitu saja, namun dalam keadaan yang takterkendali saya namakan ia Faisal Bedebah karena membuat formasi duduk yangnyaman terusik untuk beberapa saat. Sekali lagi ah, Faisal Bedebah!

Malam berganti pagi, kereta Malabar yang saya tumpangi telahsampai di stasiun Malang, tepatnya kota Malang dengan udara yang sayakenal,mirip Bandung sekali.


Menuju Tempat Kejadian Perkara


Saya sengaja tulis judulnya demikian, karena untuk saya sajasaya tak ingin beri judul dengan kata lainnya, sebuah nama mengingatkan sayadengan beberapa situasi yang saya tak ingin ulangi lagi.

Malang tengah dingin pagi ini, cerah sekali dengan udarayang mirip ketika saya bangun pagi di Banjaran, menyejukkan sekali, seorangsupir tengah mengobrol dengan Faisal dengan bahasa Jawa, saya tak mengertimaksudnya apa, mungkin Faisal mengonsultasikan rencana masa depannya dengan paksupir tersebut, mungkin ia mengadu pada pak supir karena saya memanggilnyabedebah, atau mungkin juga ada hal lainnya. Saya tak tahu.

Saya temukan Ratna telah ada di Malang ini, ia diantar olehsaudaranya, terlihat siap memulai perjalanan, dengan sepatu yang telah hadir dikakinya, sebuah ransel yang sepertinya penuh dengan entah isinya apa saja dansenyuman yang mengawali pertemuan saya dengan dokter muda RS Dustira ini,entahlah ia ini seorang dokter atau pendaki gunung. Jika ia dua-duanya sayakhawatir ia akan buka praktek di hutan sana, atau mungkin ia akan mengobatipasiennya dengan obat yang ia racik sendiri dari pendakiannya selama di gunung.Entahlah.

Yang saya tahu sekarang itu tujuan selanjutnya ialah menujutempat rental alat kemping, Adoy secara tak sengaja meninggalkan sepatunya diBandung, entah ada siapa yang membuat ia lupa, mungkin seorang yang sangatspesial di hatinya membuatnya bingung, seorang yang mungkin akan mengisikebingungannya dengan semua rencananya. Seperti tulisan di kertas kemarin. AKUDAN KAMU, NANTI DI RANU KUMBOLO. Semoga rencananya tersiapkan dengan baik,karena saya yakin Adoy itu orang baik, dan saya yakin hanya orang baiklah yangpantas bersanding dengan orang baik.

Rental alat kemping telah di gang depan kami, saya turuntemani Adoy mencari sepatunya yang akan ia sewa, ternyata rental alat-alatkemping punya harga yang lumayan tinggi, itu membuat saya semakin yakin untukikut dalam bisnis tersebut. Bisnis yang saya rencanakan dengan sebaik-baiknyarencana saya.

Setelah mendapat barang yang dimaksud mobil melaju pelanmenuju pasar Tumpang, nama yang aneh bagi saya awalnya namun apa daya saya takbisa mengubahnya, pada kenyataannya Jack Derrida tak bisa memberikan nilaidekonstruksi untuk sebuah kenyataan yang harus ditelan mentah-mentah, sebuahnomenklatur yang tak bisa diganggu gugat.

Sebuah rumah menjadi shelter sementara ada di belakang pasartersebut, ya kami transit untuk beberapa saat di sana, dan membeli beberapalogistik yang akan kami bawa untuk perjalanan kami.

Pasar setempat kami jelajahi dengan beberapa panganan jugatelah kami nikmati, dan Ranu Pani kami jelang dengan truk. Perjalanan yangsempat membuat saya berdebar kencang hari itu, perjalanan yang sempat membuatsaya bingung dengan tujuan saya, perjalanan yang sempat membuat rindu pulangsemakin menjadi, perjalanan yang sempat membuat saya ingin segera pulang walauhanya ingin bertemu kamu untuk sebentar saja.

Semua orang sudah siap dan pendakian pun dimulai di terikmatahari ini, jalanan berdebu mulai saya dapati, dan pegunungan yang kerap kalimenjadi destinasi banyak pendaki gunung saya dapati juga, sebuah tempat yangmenyejukkan rupanya.

Ternyata Faisal mempunyai masalah dengan perutnya, sempat iasangat rewel dalam perjalanan kali ini, sepertinya penyakit mencret sangat takcocok untuk mencapai tempat kejadian perkara.

Namun dengan semua kejadian yang dilakukan siang itu,akhirnya Ranu Kumbolo saya dapati juga, ternyata lebih indah dari foto-fotoyang pernah saya lihat, air yang jernih memantulkan cahaya bulan malam ini,beberapa bintang berbinar ramah menyambut kami di danau ini.

Berkemah dimulai dan selanjutnya bisa ditebak, kamimakan-makan dan minum-minum, sembari bercanda ringan menghabiskan logistik yangada. Menutup malam dengan kedipan mata terakhir malam ini, malam yang indah danmungkin sangat syahdu jika Dinda bisa ikut.

Pagi itu saya disambut dengan butiran es di atas tenda,dengan udara dingin yang menusuk kulit, dengan langit yang indah, dengan semuakenangan yang indah yang akan kami sangat kenali, dengan cahaya matahari yangdirindukan menyapa kulit dengan bukit berpasir di sana dan kenangan manismempunyai teman yang baik hatinya.

Pagi berganti hangat semakin hangat dan mulai memanaskansituasi, semua patok di tenda telah terlepas, makanan telah tersedia, kamiberbenah untuk memulai pendakian kembali.

Ranu Kumbolo kami lewati begitu saja, di sisi lain danau adabanyak sekali tenda, dengan banyak sekali sampah, namun tidak sehebat sampahketika mendaki gunung Slamet, sampah di sini lebih terkondisikan dengan lebihbaik. Arie bilang tanjakan di depan itu tanjakan Cinta, entah siap yangmenamainya entah apa juga di belakang penamaan itu, yang pasti itu tanjakankedua untuk perjalanan hari ini, di depan ada Oro Oro Ombo, sebuah deretanpadang Savana dengan Lavender ungu di atasnya, beberapa sisi kanan sebagianhabis terbakar rupanya, sayang sekali Lavender terlihat gersang siang itu,mungkin waktu yang lain bisa saya jumpai ketika mekar.

Selanjutnya Cemoro Kandang, rupanya itu nama bagi daerahberbukit yang banyak sekali pohon cemara, jika melihatnya saya ingat gunung Puntangdi Banjaran sini, namun dengan pohon yang lebih besar dan debu yang lebihbanyak.

Tak terasa perjalanan semakin sore saja, ya Jambangan telahkami lewati puncak Mahameru sudah menanti di depan sana, Kalimati kami jelangbeberapa menit lagi.

Di Kalimati ada sumber air yang dinamai Sumber Mani,terkesan sangat erat dengan seks tapi sepertinya itu hanya bagian kecil dariperan sumber air ini, ternyata Sumber Mani hanya satu-satunya sumber air di arsiranKalimati, sehingga disarankan membawa air hingga sore hari saja, soalnya jikaberpapasan dengan binatang buas selanjutnya akan masuk ke koran lokal dantentunya berita naas untuk sanak saudara.

Sumber Mani punya air yang menguras habis rasa haus, airnyadingin dan saya rasa itu air paling nikmat dari semua perjalanan saya mendakigunung, jika pun tak percaya, coba saja simpan sebanyak mungkin rasa haus dansegera minum air di mata air tersebut.

Tenda telah berdiri kokoh ketika saya pulang mengambil air,setelah Maghrib segera shalat dan siap-siap melaksanakan perjalanan malammenuju puncak, ya trek yang tidak diketahui oleh kami berdelapan membuat kamimengutamakan waktu yang lebih senggang untuk menuju puncak.

Bulan tengah indah malam ini, jika kamu di sini kamu punakan tahu bulan itu indah adanya, udara malam tengah dingin kala itu, sepertiadanya dingin semua orang tahu akan hal itu.

Berdelapan sudah siap dengan pakaiannya masing-masing,dengan head lamp di atas kepala, dengan jaketnya masing-masing, dengan rasapenasaran yang berkobar rendah di kepalanya masing-masing, dengan nyalasemangat yang terus dijaga di benaknya masing-masing.

Doa telah terlontar pelan memulai perjalanan kami, puncak punsegera kami jelang, dari kalimati kami menyusuri jalan ke bawah menuju jalansetapak menuju Arcopodo, daerah berdebu di ditapaki pelan saja, denganistirahat yang kadang menjadikan kaki lebih nyaman untuk berjalan lagi, hinggaakhir vegetasi nampaknya semuanya baik-baik saja.

Gunungan pasir di sana mengajarkan kami untuk tetap tahubatasan menjadi dirinya masing-masing, begitu juga dengan saya, saya hampirsaja bingung kenapa juga harus mendaki sejauh ini, meninggalkan rumah,meninggalkan tugas saya sebagai buruh kecil di rumah jahit yang saya kelola,meninggalkan pesanan seteman yang mungkin kemarin sedang marah-marah karenaditagih temannya, tapi saya yakin pendakian itu hanya sementara, dan ini hanyaduniawi semata.

Kebingungan terbayar lengkap dengan semua jawaban kenyataanyang ada disana, angin yang kerap kali menyapa lebih mesra dari dekapan seorangibu, pasir membelai lebih keras dibandingkan belaian lembut pari lainnya, danternyata inikah gunung tertinggi di pulau Jawa ini.

Kerlip bintang di sana berbinar lebih indah dalam situasiini, bulan pun demikian, purnama tak hentinya mengingatkan untuk segera pulangjika rasa penasaran sudah selesai.

Dalam perjalanan sering sekali beristirahat, untuk sekedarduduk, ya hanya duduk saja, sepertinya dua langkah turun satu itu jelas sekali,trek yang berpasir dan keadaan yang hampir saja membuat semua orang bingung.

Di tengah perjalanan kami terpisah, ari saya dan Ratna beradadi depan, rupanya Azie dan Faisal kedinginan, dan beberapa penyakit perutsangat tak nyaman jika ada di gunung, jika tak percaya silakan wawancara merekaberdua.

Puncak mulai terlihat, ari rupanya sudah lebih dahulu sampaidan mengabadikan beberapa momen dengan kameranya, begitu juga dengan tetes airmata yang terlihat jelas dari bekas air di atas hidungnya, dia menangisternyata, dan begitu juga saya ketika sampai di puncaknya.

Saya bingung kenapa harus sampai ke sini, di rumah banyaksekali yang harus saya kerjakan, kenapa saya harus di sini, apakah saya kurangbersyukur dengan pekerjaan saya yang saya tinggalkan, ataukah ini hanya mimpi,saya bingung kenapa saya harus ke tempat pemujaan seperti itu, banyak sekalisesajen di sana, banyak sekali.

Setelah memotret beberapa gambar, saya pastikan untuk segeraturun, angin di sana kurang bersahabat dengan kulit saya.

Dian menyusul, juga Faisal, Adoy, dan selanjutnya Kiki dansaya bingung Azie di mana, ternyata berbeda jalur, saya segera turun dengan Ratna,dan begitu pun yang lain, rupanya Azie dan Kiki tidak mengentaskanpendakiannya, Kiki sudah mulai sesak napas di pendakian pertamanya ini.

Kami sempat duduk di batas vegetasi, sembari mengobrol danmengurai lelah, menuju siang kami menuju tenda di kalimati sana.

Telah siang rupanya ketika terbangun dari mimpi pendek ditenda, dan pada kenyataannya kami segera menuju Ranu Kumbolo lagi, dan semuakesenangan dimulai kembali.

Sepertinya kata hanya terbatas kata saja untuk tahu jikaditulis, dan gambar pun hanya dokumentasi per sekian detik untuk menggambarkanindah bisa bangun pagi di Ranu Kumbolo, jika tak mencobanya, tak akan tahujernih airnya, indahnya pagi itu.

Jika ingin tahu saja, saya sarankan untuk mencobanya, minimal sekali seumur hidup.

Ada hal yang selama ini saya ingin tulis untuk semua halyang telah terlalui dari semua perjalanan, saya sangat berterima kasih telahbisa mengenal kalian, saya sangat bersyukur punya teman seperti kalian.

;)




*ditutup dengan lagu Desire dari Pure Saturday

Di Pantai, Kemarin

Saya telah lama menunda-nunda untuk segera menulis, entahlah saya tunda untuk beberapa menit atau berapa jam, setelah puas memperdengarkan Kings And Queens dari 30 Second To Mars dan beberapa video yang kerap kali berpikir ulang kenapa Klaxons buat video klip Echoes di gurun, kenapa video dari Vampire Weekend kebanyakan simple dengan hasil yang memuaskan, kenapa Karen O harus berkata “Wait they not love you like i love you..” dalam lagu Maps, kenapa Toki Asako seksi sekali pas bareng Toe.

Adalah saya yang sedang terus-terusan memperdengarkan Kings and Quens dari 30 Second To Mars sekarang setelah kepulangan saya di rumah ini, ya maksud saya di Banjaran ini.

Dan adalah saya juga yang tengah berbelanja di pasar Banjaran pagi kemarin, dengan daftar dari SMS nya Ibu kyai haji dokter Tiara, ia itu seorang dokter muda dari Sukabumi sana dengan ilmu yang ia peroleh dari Unjani, Unjani itu akronim seperti Puskesmas dan SMS itu adalah singkatan.

Ternyata ia khilaf untuk memberikan daftar pada saya untuk logistik perjalanan kami hari ini, perjalanan yang mengakhiri kami untuk Juni ini, entah kenapa saya ingat The Monophones jika bulan Juni berakhir, seolah sound tracknya itu Rain Of Juli saja. Dan hujan sore ini saya saksikan demikian.

Saya diantar adik saya untuk membawa motor saya kembali ke rumah saya, setelah sebelumnya bersama Dinda dari depan museum Sri Baduga saya temukan ia, ia telah beres dengan wawancara dari calon tempat kerjanya, calon tempat kerjanya mirip sekali dengan suara orang sedang bersin, Holcim!

Saya dengannya menuju Buah Batu, tepatnya depan tol Buah Batu saya berhenti dan seperti perjalanan sebelumnya, saya makan Siomay dengan Baso Tahu yang dijajakan di sana, namun kali ini saya yang ditraktir, karena uang yang ada di ATM tak mau keluar rupanya, entahlah. Dan ATM juga adalah singkatan, Cuma dari bahasa inggris, Automatic Teller Machine, bukan Anjungan Tunai Mandiri karena itu adalah jebakan istilah dari bank Adoy bekerja untuk penetrasi branding di masyarakat Indonesia dan ternyata sebagian orang berhasil terpengaruh.

Dinda tampak cantik kali ini, bukan sekali atau dua kali saya temukan demikian, sepertinya hampir setiap kali demikian terkecuali ketika ia muntah-muntah di Pangrango sana, sebentar paragraf ini sepertinya tidak romantis ya, tapi tak apalah, saya juga yakin semua orang akan berkurang kecantikan atau ketampanan satu saat, tinggal dicek lagi saja momentumnya kapan.

Langit di arah timur sudah menghitam pas saya duduk di sebelah Dinda di sana arah barat tampak cerah, namun hujan poyan datang dengan tak terkira, setelah shalat saya pun mencari tempat yang lebih nyaman untuk duduk, dengan secangkir kopi hangat sepertinya akan lebih menyemangka, sebelum teman-teman datang.

Ternyata saat kopi dihidangkan teman-teman baru saja sampai di hadapan saya dengan hujan yang datang dengan sedikit tetapi banyak saya datangi mobilnya dan berganti tempat dengan adik saya untuk segera membawa pulang motor yang telah lama temani saya ke mana pun saya pegang stangnya.

Dan perjalanan pun dimulai, dengan jalan tol yang sedang mengalami pelebaran, saya kira itu dari efek BBM naik sehingga pelayanan pun harus ditingkatkan, ternyata itu sudah menjadi program Jasamarga sedari 3 bulan lalu.

Cimahi saya jelang bareng Dian, Azi, Dinda, dan Ari. Semuanya dalam satu posisi duduk, dan setelah RS Dustira dan Unjani Ratna dan Tiara akan kami temukan, sehingga teman kami seperjalanan akan lebih banyak lagi.

Seiring matahari yang terus turun di arah barat sana, Tol Baros kami masuki dengan teman yang menunggu di Cileunyi sana, ada Adoy dengan Wildan tengah berdua saja, romantis ga ya?

Ternyata GOR Bandung Lautan Api terlihat seperti katel yang terbalik jika dari tol, di sana mungkin akan menjadi tempat bermain bola para pemain Persib, sehingga jika nanti ada permainan bola yang macet bukan Soreang, dan iring-iringan bobotoh tak bermoral tak akan kebut-kebutan di Banjaran lagi. Sebentar sepertinya bukan GOR tapi lenih mirip Stadion tapi bagaimana menentukan skala itu bangunan GOR atau itu sejenis stadion?

Sebentar lagi Cileunyi dengan kemacetannya yang hampir panjang sekali dengan tahu Sumedang yang beralamat Cileunyi juga dengan Adoy dan Wildan yang menunggu di sana.

Teman seperjalanan telah lengkap, dengan melaju cepat tapi menegangkan terus saja berjalan, sempat di Cicalengka berhenti untuk shalat, dan seterusnya melaju cepat saja.

Dengan ban yang terus saja melaju kencang hampir setiap perjalanan diisi dengan celotehan khas masing-masing, ya masing-masing punya suara yang khas, dengan lantunan lagu yang terdengar kencang dengan keadaan yang terus berubah, Ciamis telah terlewati, dan Banjar pun kami jelang dengan lapar yang terus saja memberikan sinyal tak nyaman di perut, dengan celetukan yang hampir saja tak terkontrol setiap kali melihat warung nasi dan restoran samping jalan.

Dan ternyata restoran yang dituju Azi sangat tepat, dengan porsi yang cukup untuk sekedar berucap syukur dengan nasi dan Soto Betawi sepertinya sudah cukup untuk membuat perut diam untuk sementara waktu.

Perjalanan dimulai lagi, dengan malam yang hampir menuju pagi, dengan jalur yang tak kami ketahui.

Batu Karas, ya sebuah daerah di Pangandaran sana kami jelang dengan teratur, dengan membayar upeti sekadarnya kepada preman setempat dengan tanpa tiket masuk akmi sampai di sana. Tujuannya cuma satu, Batu Nunggul.

Ya, itulah nama destinasinya, sebuah kawasan yang sepi dari wisatawan lainnya, dengan jalur yang tak biasa untuk dilalui.

Sembari hujan yang terus saja datang kami bersiap dengan tenda, dua mata itu tetap mengintai dan perasaan tak enak sempat muncul dan gelak tawa pada paginya meredupkan kecemasan akan binatang liar.

Malam hari itu ternyata badai sedang bermain-main dengan ombak di sana, tepatnya di depan tenda kami dengan deburan yang kerap kali datang membawa putihnya lautan dengan suaranya yang tak kalah dengan suara guntur di atas sana, dan untungnya ketika pagi datang cerah menyambut kesadaran kami.

Sudah cukup kami bersyukur dengan udara yang menyejukkan pagi ini, sudah cukup rasanya untuk tahu indahnya matahari terbit di ufuk timur sana, cukup rasanya untuk tahu indahnya hari ini, hari bersama teman-teman yang mungkin akan kami sangat banggakan untuk masa tua kami, dengan kenangan indah yang tak mungkin bisa diulang, dengan nikmatnya waktu itu, terlebih lagi indahnya waktu bersamamu.


*diketik dengan senang hati

Hal yang selanjutnya sering

menikmati kesedihan di pagi hari
dengan lirih yang berhujjah
di waktu yang sempat kita cumbui bersama
nun jauh di sana

ihktiar telah berucap pelan untuk setahun lebih
saatnya menjadi dewasa, seperti agungnya gunung
juga dinginnya kumpulan rasa di air lautan

ujar hanya sebentar namun tulisan lebih lama berucap
jika hanya jarak dan waktu yang belum sepakat

mungkin nanti saatnya menjadi lebih sering bersama


*banjaran 3 juli 2013

Demi kian

Selasa, saya panggil hari ini demikian, sebuah hari kedua dalam hitungan pembelajaran saya sewaktu sekolah dulu, baik SMU maupun perkuliahan yang tak saya bereskan itu, hari kedua dalam hitungan Minggu atau hari yang saya yakini berasal dari saduran bahasa arab, entah mengapa bahasa arab dominan dalam serapan kata yang bersangkutan dengan hitungan, terutama dalam hitungan hari.


Dan entah mengapa saya dengan pasrah menerimanya, kenapa senin tak disebut gfshdgljadb atau selasa disebut gknkasjkh saja, seolah semuanya sudah menjadi ketetapan jika seminggu itu tujuh hari, sebulan itu empat Minggu dan setahun itu dua belas bulan.


Sebuah ketetapan yang membuat berpikir ulang untuk menghujatnya, ataupun untuk mencari alasannya kenapa harus demikian.


Hari dalam hitungan waktu terdiri dari 24 jam dengan empat waktu yang terselip di antaranya pagi, siang, sore, malam dan entah kenapa itu disebut demikian, seolah harus menerimanya saja, sehingga alasan kadang kala hanya sia-sia untuk mengelak dari waktu yang terus saja bergulir.


Dalam waktu semuanya terjadi begitu cepat, dengan beragam rumus yang diciptakan manusia dengan beragam konstanta hitungan yang membuatnya patokan, semisal detik itu jadi bagian dari menit dan menit membangun jam dan selanjutnya sehingga hitungan tahun pun terjadi, atau mungkin tahun yang terus dibagi-bagi dan didistribusikan menjadi bagian kecil untuk lebih mudah dipahami.


Dalam kitab saya waktu menjadi penanda yang jelas untuk surat yang sangat pendek, sangat jelas sekali esensinya, jika tak hati-hati mempergunakan waktunya pilihannya sudah jelas, keberuntungan atau kerugian.

Saya berusaha untuk menggunakan waktu dengan sebaiknya, meski kadang kala itu hanya semboyan saja, tetapi jika menghitung nilainya, saya kira itu lebih baik karena telah mencobanya.


Misalnya saya beli jam, bukan untuk gaya-gayaan tapi untuk tahu saja jika waktu sedang dalam jam apa, namun dalam jam saya kebanyakan saya gunakan ialah speedometernya saja, saya kadang penasaran dalam kegiatan saya menghabiskan berapa menit, jam, dan detik, sehingga dalam kegiatan pendakian pun saya berlaku demikian, menghitung seberapa cepat perjalanan saya, seperti perjalanan ke Pangrango kemarin, dalam hitungan lebih kurang 25 jam saya berada dalam kawasan gunung Pangrango, beserta sedikit cerita indah dan banyak cerita menyeramkan dari ganasnya alam.


Dan waktu mengajarkan saya untuk bersyukur tentang umur, sedemikian desain yang unik sekali menghantarkan saya untuk sadar berada di sini, dengan saya yang seperti ini, dan keadaan yang harus saya terima, baik dan buruknya.


Demikian dalam hitungan waktu beserta cita-cita dan banyaknya harapan esok akan seperti apa tetap akan saya jelang, dengan baik dan buruknya.


Demikian dalam hitungan waktu umur saya akan jelang dengan seadanya kemampuan saya, dan sepertinya mengapa saya harus dustakan untuk nikmat semegah ini.



*diketik dengan senang hati | Your Hand In Mine – Explosions In The Sky

Jumat, 14 Juni 2013

Mengingat Kemarin


Saya targetkan untuk menulis catatannya dengan 30 menit sajasoalnya banyak bahan baju yang harus segera saya potong menjadikannya kaospesanan A Sofwan dari RSHS dan hoodiespesanan Gifi sampai flysheet dadakan pesanan A Ucan.

Kemarin adalah hari yang lumayan panjang dengan malam yangpanjang. Terasa aneh juga dengan kegiatan malam yang datang tergesa-gesa dengankesibukan yang berubah dengan drastis.

Saya sebagaimana saya tahu selalu berusaha menjunjungnilai-nilai yang saya pegang. Dalam hal menulis, dalam hal berekonomi hinggadalam hal lainnya. Bahkan hingga saya kira terlalu memaksakan untuk sebuah halyang sentimentil.

Sabtu kemarin saya dapati jika SUAKA mau mengadakan plenotengah dan tempat pelaksanaannya itu berubah, maksudnya dipindah tempatkan.Masih di Bandung, saya sanggup mencarinya, terutama masih di Cibiru. Sebuahtempat yang kadang kala saya rindukan untuk kembali ke sana. Tempat yang kerapkali membuat saya bingung kenapa harus ke sana.

Baru enam menit ternyata saya menulis, ya menulis catatanyang tak terlalu penting rasanya,toh masa depan itu saya belum tahu dan sejarahhanya akan dicatat dan dikenang.

Seperti pleno kemarin, sepertinya bagi saya itu kenanganyang cukup diingat saja, saya tak menuliskannya sebagai sebagai sejarah yangsaya harus catat dan menjadikannya sebuah pelajaran, karena kewajiban sayahanya sebatas saran yang tak penting juga, secara struktural hingga sistematis,toh itu saya anggap silaturahmi saja.

Dalam tujuan saya, saya ingin bertemu teman lama saja,kabarnya ada Wicak ke sana, dan ternyata lebih dari itu ada Miko, jugapermaisurinya begitu pun ada Ojan, Bayu, Hamdan, Iqmah dan Ivan, dan tentunyasekali ialah para anggota LPM SUAKA, tempat saya belajar untuk tahu sebuahnilai dan mempelajari harga dari teks dan konteks.

Entah kenapa saya sukasekali kalimat sebelum ini, sehingga kesannya keren sekali.

Sebenarnya dalam pleno tengah itu acara yang biasa saja,biasanya adanya evaluasi dan biasanya para pengurus itu keteteran akan programnya masing-masing, saya tahu pasti soalnyabegitu pun saya dulu menjalaninya, namun dengan situasi yang berbeda.

Rapat berlangsung cepat dengan para anggota yang mulai lelahdan hanya semangat saja saya kira itu penolongnya. Hingga mereka dengan sadarakan menentukan bagaimana LPM SUAKA ke depannya, tanggung jawab sebagaimahasiswa yang bisa bersikap cerdas dalam keadaan yang buruk dan mempengaruhisecara tulisan dan perilaku bercirikan kejujuran, seperti kejujuran sebuahtulisan, tak mungkin sebuah tulisan terbaca ‘jujur’ harus dibaca ‘bohong.’

Saya kira akan membahas dari segi karya namun entah mengapasaya kira kualitas tulisan SUAKA kini makin berkurang, entah karena isunyaitu-itu saja, atau mungkin karena berkaca apa kualitas yang dahulu, ataumungkin, paradigma dalam penulisan hingga peliputan telah berubah, sepertiberubahnya sebuah pandang satu hal dengan hal lainnya.

Namun dalam pandangan saya, karya yang baik adalah yangberkelanjutan, maksudnya sebuah isu tidak akan habis setelah penerbitan, karenasaya kira penerbitan itu dikategorikan sukses jika mendapat tanggapan, baik promaupun kontra. Bukan setelah ditulis berita kemudian beres, dan itu hanya jadiangin lalu. Seperti melihat air saja, air yang baik itu air yang mengalir,begitu pun jika ingin tahu jumlah akumulasi air di lautan, dapat menghitungnyadari debit air di sungai hilir ke hulu, namun kadang kala pers mahasiswa sangatsuka sekali dengan hal baru dan mungkin hanya sampai muara saja.

Saya tahu korelasi sangat penting sebuah produk, bahkanuntuk sebuah tulisan, namun tulisan yang bagus tidak menentukan kemasan yangmewah. Saya ingat sebuah mini sekali majalah, atau lebih cocok buku saku,namanya OPEN MIND, itu buatannya para mahasiswa Bandung dan entah mana lagi,penulisnya sangat banyak, kemasan kecil dan fontyang kecil sedikit art work, bahkan iklan yang ada itu iklan layanan masyarakat atau lebih tepatnya, propaganda konstruktif, dan yang palinganeh dari semua tulisannya, pasti diakhiri dengan pertanyaan bagaimana dengankamu? Ya sebuah pertanyaan singkat seolah media dialog saja. Senang sekali jikaitu menjadi pertanyaannya dari SUAKA untuk para mahasiswa.

SUAKA juga begitu mungkin, umur yang sudah mumpuni tidak mempengaruhi kualitas sebuah organisasi semisal SUAKA, toh kekurangan itu hadir untuk bersanding dengan kelebihan, tulisan juga hadir sebagai penanda saja,tanda bahwa telah dicatat dengan tulisan, bukan hanya kenangan saja.

Suasana makin larut saja dan begitu pun hari itu makin malam saja, dan bermain kartu sangat membantu melepas penat, seperti dulu lagi sepertinya namun dengan orang yang berbeda dan situasi yang berbeda juga.

Sepertinya inilah mungkin perasaan alumni ketika kami disindir habis di pleno tengah dulu dan begini rasanya menjadi bagian yang telah lama meninggalkan keorganisasian.



*diketik dengan senang hati